Perasaan dan Prasangka
Sepanjang jalan, aku hanya mahir merekam alam sekitar.
Bukan lagi berkata tentang rumput hijau atau langit dengan awan yang
memperindahnya. Bayangku sudah jauh melayang sejak langkah pertama.
Melambungkan setiap pertanyaan yang tak pernah tau apa jawabannya. Dasar
pecundang rindu. Mau-maunya dibodohi rasa.
Jejak
langkah semakin jauh dan makin jauh juga bayang khayal tentangmu. Tentang siapa
yang kekeh berjuang dan yang bertahan untuk diam. Seperti dua hal konyol yang
jika dipikir mendekati titik sia-sia. Tapi keegoisan memang akan mengalahkan
segalanya. Selalu saja ada harapan yang menguatkan yang kekeh berjuang pada
akhirnya akan menang. Untuk terwujud atau melebihi setiap cita yang di tuju.
Barangkali
ini memang hanya kecenderungan untuk selalu rindu. Atau sekedar bisikan
keegoisan yang selalu ingin menang. Mungkin dahulu kata-kata ini juga yang
hadir saat rasa itu datang. Mungkin sikap ini juga yang dulu dilakukan dalam
peluk egoisme. Hanya saja lilin harapan yang tak pernah padam itu selalu
mengiyakan. Kali ini keadaannya berbeda-begitu sang jiwa berkata.
Lagipula
apa bedanya kamu dengan mereka, orang yang begitu saja menganggapku asing
setelah perasaan mereka yang tidak mau dipaksa. Dalam beberapa keadaan dimana
paksaan memang menyiksa, yang disitu tidak akan ada lagi kenyamanan.
Baik, mari
kembali pada kesadaran semula. Meluruskan kembali setiap langkah agar tidak
diburu lamunan. Kembali lagi bersama fakta yang saat ini dijalani. Ya,
kesendirian memang tidak selamanya buruk.
∞∞∞
Kembali
kulihat sepatu ini kian lama kian pudar warnanya. Tampilannya tak sebagus dulu
lagi—tak menarik lagi. Apa mungkin dia sudah lelah, menemani setiap langkah
kakiku. Dimana ingin selalu lelah mengejar setiap kembang perasaan yang berakar
begitu kuat. Mengenai pertikaian-gejolak jiwa yang tak pernah selaras dengan
ucapan antara
meyakinkan dan rasa ragu.
Memang
mungkin sejahat itu, bila sudah mau jatuh dalam perasaan. Semakin dihayati
pasti akan semakin terasa-mungkin sakit atau kadang bahagia. Tapi cobalah tepis
galah-galah penghalang kebahagiaan itu. Sedikitnya kita tak harus melulu sedih
dengan terkaan yang direka sendiri. Walau juga kebahagian itu tidak harus
selalu jadi raja. Yang melambungkan setiap asa pada titik tertinggi dan tebing
yang curam.
“Kalau mau
duluan sok aja. Dari tadi nunggu same ngelamun gitu”
Wow, benar-benar mengejutkanku. Padahal aku merasa
rangkaian katanya masih belum selesai. Tapi syukurlah, ada yang menghentikan
gejolak pertengkaran jiwa.
“Ya lagian lama nih, malahan udah hampir mau bobo
ditempat. Dandan apa ngantri sembako?” sindirku padanya.
“HEHE Kalem teh, namanya juga cewe. Ingin selalu tampil
cantik sepanjang hari” begitu gadis manis itu menimpali.
“Masya Allah, gasalah lagi ah yang mau ketemu ekhemnya
mah”
“Dih apa banget sih, siapa juga yang mau ketemu orang
spesial. Emangnya teh Safa yang tiap hari dandanannya ya begitu” nada sindirin
adikku ini makin berkembang saja.
“Udah deh gausah dibahas, yuk jalan. Entar keburu siang,
panas, males lagi, gajadi lagi” ucapku mengalihkan topik yang malas kubahas.
Begitu langkah awal kami mengakhiri pembahasan tentang
dandan yang mungkin akan sedikit membuat risih. Karena bukan tidak mungkin
lanjutannya akan menjurus pada topik jodoh. Dan si Nada ini tipe wanita pecinta
gosip-gosip manja. Ah benar-benar tidak diharapkan. Karena aku masih menyisakan
setiap tanya pada rasa yang tertuju, padamu.
∞∞∞
“Teh, kemarin mampir ke sekolah?” tanya seorang adik
kelasku.
“Iya nis, kenapa?” balik bertanya.
“Ngga. Terus ketemu donk?” Balasan pesan dengan emotikon
ketawanya.
“Ketemu siapa?” Ah apa pula jawabanku ini. Semakin
menegaskan kepura-puraan.
“Ketemu dia laaaah -___-“
“Ngga. Lagian perlunya juga kepihak sekolah bukan dia”
alah bohong lagi.
“Emang ga pengen menyelam sambil minum air?” sendiran
keras yang memaksa bilang ‘IYA’.
“Maunya menyelam sambil makan ikan boleh ga tuh?” ucapku.
“Ah pengalihannn -_____-”
Nisa ini memang adik kelas sekaligus temanmu yang paling
bisa. Aku memang sedang tidak ingin membahas tentang dia. Walau diam-diam aku
tertarik membahas segalanya tentang diaku. Ya, siapa lagi kalau bukan kamu.
Kamulah diaku, awal dari lantunan puisi-puisi itu.
∞∞∞
Bersambung......
Komentar
Posting Komentar